Perbedaan Kalender Saka Bali, India dan Jawa
Kalender Saka adalah sebuah kalender yang berasal dari India. Kalender ini merupakan sebuah penanggalan syamsiyah qomariyah (candra surya) atau kalender lunisolar, maksudnya sistem kalender yang menggunakan periode bulan mengelilingi bumi untuk satuan bulan, namun untuk penyesuaian dengan musim dilakukan penambahan satu bulan atau beberapa hari (interkalasi), setiap beberapa tahun. Berhubung bulan-bulan dalam kalender Saka hanya terdiri dari 30 hari, maka tahun baru harus disesuaikan setiap tahunnya untuk mengiringi daur perputaran matahari.
Penggunaan kalender Saka tidak hanya oleh masyarakat Hindu di India saja, kalender ini juga masih digunakan oleh masyarakat Hindu di Bali. Di Bali kalender Saka yang telah ditambahi dengan unsur-unsur lokal dipakai sampai sekarang, begitu pula di beberapa daerah di Jawa, seperti di Tengger yang masih banyak penganut agama Hindu. terutama untuk menentukan hari-hari besar keagamaan mereka.
Kalender Saka Di India
Eksistensi Tahun Saka di India merupakan tonggak sejarah yang menutup permusuhan antar suku bangsa di India. Sebelum lahirnya Tahun Saka, suku bangsa di India dilanda permusuhan yang berkepanjangan. Adapun suku-suku bangsa tersebut antara lain: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa dan Saka. Suku-suku bangsa tersebut silih berganti naik tahta menundukkan suku-suku yang lain. Suku bangsa Saka benar-benar bosan dengan keadaan permusuhan itu. Arah perjuangannya kemudian dialihkan, dari perjuangan politik dan militer untuk merebut kekuasaan menjadi perjuangan kebudayaan dan kesejahteraan. Karena perjuangannya itu cukup berhasil, maka suku Bangsa Saka dan kebudayaannya benar-benar memasyarakat.
Tahun 125 SM dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi memegang tampuk kekuasaan di India. Tampaknya, dinasti Kushana ini terketuk oleh perubahan arah perjuangan suku bangsa Saka yang tidak lagi haus kekuasaan itu. Kekuasaan yang dipegangnya bukan dipakai untuk menghancurkan suku bangsa lainnya, namun kekuasaan itu dipergunakan untuk merangkul semua suku-suku bangsa yang ada di India dengan mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku menjadi kebudayaan kerajaan (negara).
Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehchi mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Sejak itu pula, kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan beragama di India ditata ulang. Oleh karena itu, peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, dan hari kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional. Akibat toleransi dan persatuan itu, sistem kalender Saka semakin berkembang mengikuti penyebaran agama Hindu.
Awal setiap bulan adalah saat konjungsi, sehingga tanggal kalender Saka umumnya lebih dahulu sehari dari tanggal kalender Hijriyah yang diawali munculnya hilal. Setiap bulan dibagi menjadi dua bagian yaitu suklapaksa (paro terang, dari bulan mati sampai purnama) dan kresnapaksa (paro gelap, dari selepas purnama sampai menjelang bulan mati). Masing-masing bagian berjumlah 15 atau 14 hari (tithi). Jadi kalender Saka tidak mempunyai tanggal 16. Misalnya, tithi pancami suklapaksa adalah tanggal lima, sedangkan tithi pancami kresnapaksa adalah tanggal dua puluh.
Konsep sunya (kosong) dalam ajaran Hindu mendasari kalender Saka untuk menghitung tahun dari Nol. Tanggal 1 Caitra tahun Nol bertepatan dengan tanggal 14 Maret 78. Tahun baru 1 Caitra 1932 jatuh pada tanggal 16 Maret 2010. Di Indonesia kita mengenal tahun baru Saka sebagai Hari Raya Nyepi.
Sebuah tahun Saka dibagi menjadi dua belas bulan. Berikut nama bulan-bulan tersebut:
- Srawanamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Juli-Agustus atau bulan Jawa/Bali Kasa
- Bhadrawadamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Agustus-September atau bulan Jawa/Bali Karo
- Asujimasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan September-Oktober atau bulan Jawa/Bali Katiga
- Kartikamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Oktober-November atau bulan Jawa/Bali Kapat
- Margasiramasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan November-Desember atau bulan Jawa/Bali Kalima
- Posyamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Desember-Januari atau bulan Jawa/Bali Kanem
- Maghamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Januari-Februari atau bulan Jawa/Bali Kapitu
- Phalgunamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Februari-Maret atau bulan Jawa/Bali Kawolu
- Cetramasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Maret-April atau bulan Jawa/Bali Kasanga
- Wesakhamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan April-Mei atau bulan Jawa/Bali Kasepuluh/Kadasa
- Jyesthamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Mei-Juni atau bulan Jawa Dhesta atau Bali Desta
- Asadhamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Juni-Juli atau bulan Jawa Sadha atau Bali Desta
Dengan demikian kalender Saka mempunyai nilai sejarah yang tinggi dan bermakna dan mempunyai kedudukan penting terhadap beribadatan bagi umat Hindu di India Pada saat itu
Kalender Saka Di Jawa
Pada abad ke-4 Masehi agama Hindu telah berkembang di Indonesia Sistem penanggalan Saka pun telah berkembang pula di Indonesia. Itu dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat (India) yang mendarat di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 456 Masehi.
Awal mula perkembangan Tahun Saka di Indonesia terjadi pada zaman Majapahit, Tahun Saka benar-benar telah eksis menjadi kalender kerajaan. Di Kerajaan Majapahit pada setiap bulan Caitra (Maret), Tahun Saka diperingati dengan upacara keagamaan. Di alun-alun Majapahit, berkumpul seluruh kepala desa, prajurit, para sarjana, Pendeta Siwa, Budha dan Sri Baginda Raja. Topik yang dibahas dalam pertemuan itu adalah tentang peningkatan moral masyarakat.
Kalender Saka tetap dipakai di Jawa sampai awal abad ke-17. Kesultanan Demak, Banten, dan Mataram menggunakan kalender Saka dan kalender Hijriyah secara bersama-sama. Pada tahun 1633 Masehi (1555 Saka atau 1043 Hijriyah), Sultan Agung Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Molana Matarami (1613-1645) dari Mataram menghapuskan kalender Saka dari Pulau Jawa, lalu menciptakan Kalender Jawa yang mengikuti kalender Hijriyah. Cuma bilangan tahun 1555 tetap dilanjutkan. Jadi tanggal 1 Muharram 1043 Hijriyah adalah 1 Muharam 1555 Jawa, yang jatuh pada hari Jum`at Legi (Sweet Friday) tanggal 8 Juli 1633 Masehi. Angka tahun Jawa selalu berselisih 512 dari angka tahun Hijriyah. Keputusan Sultan Agung ini disetujui dan diikuti oleh Sultan Abul-Mafakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651) dari Banten. Dengan demikian kalender Saka tamat riwayatnya di seluruh Jawa, dan digantikan oleh kalender Jawa yang sangat bercorak Islam dan sama sekali tidak lagi berbau Hindu atau budaya India.
Nama-nama bulan disesuaikan dengan lidah Jawa: Muharam, Sapar, Rabingulawal, Rabingulakir, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Saban, Ramelan, Sawal, Dulkangidah, Dulkijah. Muharram juga disebut bulan Sura sebab mengandung Hari Asyura 10 Muharram. Rabi`ul-Awwal dijuluki bulan Mulud, yaitu bulan kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. Rabi`ul-Akhir adalah Bakdamulud atau Silihmulud, artinya “sesudah Mulud”. Sya`ban merupakan bulan Ruwah, saat mendoakan arwah keluarga yang telah wafat, dalam menyambut bulan Puasa (Ramadhan). Dzul-Qa`dah disebut Hapit atau Sela sebab terletak di antara dua hari raya. Dzul-Hijjah merupakan bulan Haji atau Besar (Rayagung), saat berlangsungnya ibadah haji dan Idul Adha. Bulan ganjil berumur 30 hari, seddangkan bulan-buulan genap berumur 29 hari, kecuali bulan ke-12 berumur 30 pada tahun panjang.
Nama-nama hari kalender Saka dalam bahasa Sansekerta (Raditya, Soma, Anggara, Budha, Brehaspati, Sukra, Sanaiscara) yang dianggap berbau penyembahan benda langit dihapuskan oleh Sultan Agung, diganti dengan nama-nama hari dalam bahasa Arab yang disesuaikan dengan lidah Jawa: Ahad, Senen, Seloso, Rebo, Kemis, Jumuwah, Saptu. Tetapi hari-hari pasaran atau pancawara (Pahing, Pon, Wage, Kaliwuan, Umanis atau Legi) tetap dilestarikan, sebab merupakan konsep asli masyarakat Jawa, bukan diambil dari kalender Saka atau budaya India.
Dari realita di atas, tidak dapat dipungkiri sistem penanggalan Saka menjadi titik awal perhitungan terhadap sistem penanggalan yang ada di Indonesia, khususnya sistem penanggalan Jawa Islam sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Kalender Saka Di Bali
Kalender saka berkembang dan menyebar sampai ke Indonesia khususnya ke Bali, hanya saja kalender ini setelah sampai di Bali mengalami berbagai perubahan dalam sistematikanya., sehingga terjadi perbedaan. Karena perbedaan itulah maka kalender Saka yang ada di Bali lebih populer dengan nama kalender Saka Bali.
Kalau dilihat dari sejarahnya, kalender Saka Bali ini belum bisa dipastikan siapa penciptanya dan tahun berapa mulai berlakunya. Namun apabila ditinjau dari adanya penerbitan kalender Saka Bali, maka akan ditemukan peristisnya yaitu I Gusti Bagus Sugriwa dan I Ketut Bambang Gde Rawi. Kedua orang inilah yang telah menyusun dan menerbitkan kalender Saka Bali yang dapat kita warisi sampai sekarang.
Di dalam penentuan awal dan akhir tahun kalender Saka Bali berpedoman dengan kalender matahari yaitu pada saat matahari tepat berada di bawah khatulistiwa. Akhir tahunnya ada pada tilem (New Moon) kesanga pada saat bulan mati yang terjadi antara bulan Maret- April, dan merupakan tilem yang terdekat dengan tanggal 21 Maret. Pada saat itu diadakan upacara Tawur Kesanga dan besoknya dimulai tahun baru yang dirayakan umat Hindu yang terkenal dengan nama Hari Raya Nyepi (penanggalan 1 Sasih Kedasa).
Sedangkan dalam menentukan umur bulan kalender Saka Bali berpedoman pada kalender bulan (Lunar Kalender) yaitu antara tilem dengan tilem berikutnya, dimana tilem dalam kalender Hijriyah adalah ijtima’ (kongjungsi). Dalam 1 bulan candra atau sasih, disepakati ada 30 hari terdiri dari 15 hari menjelang purnama disebut penanggal atau suklapaksa, diikuti dengan 15 hari menjelang bulan baru (tilem) disebut panglong atau kresnakapsa. Penanggal ditulis dari 1 pada bulan baru, sampai 15 yaitu purnama, menggunakan warna merah pada kalender cetakan. Setelah purnama, kembali siklus diulang dari angka 1 pada sehari setelah purnama sampai 15 pada bulan mati (tilem) menggunakan warna hitam. Dalam perhitungan matematis, untuk membedakan warna, sering dipakai titi. Titi adalah angka urut dari 1 yaitu bulan baru, sampai 30 pada bulan mati. Angka 1 sampai 15 mewakili angka merah atau penanggal, 16 sampai 30 mewakili angka 1 sampai 15 angka berwarna hitam atau panglong.
Nama-nama sasih (bulan) pada kalender Saka Bali sebagai berikut:
- Kesanga : Tanggal 1- Tilem = 29-30 hari
- Kedasa : Tanggal 1- Tilem = 29-30 hari
- Jhista : Tanggal 1- Tilem = 29-30 hari
- Shada : Tanggal 1- Tilem = 29-30 hari
- Kasa : Tanggal 1- Tilem = 29-30 hari
- Karo : Tanggal 1- Tilem = 29-30 hari
- Katiga : Tanggal 1- Tilem = 29-30 hari
- Kapat : Tanggal 1- Tilem = 29-30 hari
- Kalima : Tanggal 1- Tilem = 29-30 hari
- Kaenem : Tanggal 1- Tilem = 29-30 hari
- Kepitu : Tanggal 1- Tilem = 29-30 hari
- Kewolu : Tanggal 1- Tilem = 29-30 hari
Umurnya = 354-355
Disamping berdasarkan kalender matahari dan bulan, kalender Saka Bali juga memasukkan kalender Wuku, yang merupakan kalender yang hanya ada di Indonesia, dimana umur dalam 1 tahunnya adalah 420 hari. 1 wuku sama dengan 1 minggu (7 hari), dan wuku berjumlah 30.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa kalender Saka Bali berpedoman dengan kalender matahari, kalender bulan dan tahun wuku atau bisa dikatakan kalender lunisolar ditambah kalender wuku.
Dalam sistem kalender Bali, 1 minggu yang terdiri dari 7 hari disebut Saptawara. Saptawara sering digunakan bersama dengan Triwara (mingguan dengan tiga hari) dan Pancawara (mingguan dengan lima hari). Bagi orang Bali awam sekalipun, sudah mengenal kesepuluh jenis mingguan tersebut yang dinamakan Wewaran.
Adapun jenis-jenis Wewaran tersebut adalah :
Ekawara
- Luang (tunggal/kosong); urip:1; Dewa: Sang Hyang Ekataya; bertempat di barat daya
Dwiwara
- Menga (terbuka/terang); 5; Sanghyang Kalima, di timur
- Pepet (tertutup/gelap); 7; Sanghyang Timira, di barat
Triwara
- Pasah/Dora yang berarti tersisih, baik untuk Dewa Yadnya; 9; Sanghyang Cika; di selatan
- Beteng/Waya yang berarti makmur, baik untuk Manusa Yadnya;4. Sanghyang Wacika; di utara
- Kajeng/Byantara yang berarti tekanan tajam atau dimakan (Bali ‘kaajeng’), baik untuk Bhuta Yadnya; 7; Sanghyang Manacika; di barat
Caturwara
- Sri (kemakmuran);4;Bhagawan Bregu, utara
- Laba (laba/pemberian/keuntungan);5;Bhagawan Kanwa,timur
- Jaya (unggul);9;Bhagawan Janaka,selatan
- Mandala (daerah);7;Bhagawan Narada,barat
Pancawara
- Umanis yang berarti rasa; 5; Dewa Iswara, timur
- Paing yang berarti cipta; 9; Dewa Brahma, selatan
- Pon yang berarti idep; 7; Dewa Mahadewa, barat
- Wage yang berarti angan, 4; Dewa Wishnu, utara
- Kliwon yang berarti budhi; 8; Dewa Siwa, tengah
Sadwara
- Tungleh (tak kekal) ; 7; Sanghyang Indra, barat
- Aryang (kurus): 6; Sanghyang Bharuna, timur laut
- Urukung (punah); 5; Sanghyang Kwera, timur
- Paniron (gemuk); 8; Sanghyang Bayu, tenggara
- Was (kuat); 9; Sanghyang Bajra, selatan
- Maulu (membiak); 3; Sanghyang Airawana, barat daya
Saptawara
- Radite/Minggu berarti soca, menanam yang beruas; 5; Sanghyang Bhaskara (matahari), timur
- Soma/Senin berarti bungkah, menanam umbi-umbian; 4; Sanghyang Chandra (bulan), utara
- Anggara/Selasa berarti godhong, menanam sayuran daun; 3; Sanghyang Angaraka (mars), barat daya
- Buddha/Rabu berarti kembang, menanam semua jenis bunga; 7; Sanghyang Udaka (merkurius), barat
- Wraspati/Kamis berarti wija, menanam yang menghasilkan biji; 8; Bhagawan Brehaspati (jupiter), tenggara
- Sukra/Jum’at berarti woh, menanam buah-buahan; 6; Bhagawan Bregu/Sukra (venus), timur laut
- Saniscara/Sabtu berarti pager, menanam tanaman sebagai pagar; 9; Sanghyang Wasurama (saturnus), selatan
Astawara
- Sri berarti makmur (pengatur); Bhatari Giriputri
- Indra berarti indah (penggerak); Sanghyang Indra
- Guru berarti tuntunan (penuntun); Sanghyang Guru
- Yama berarti adil (keadilan); Sanghyang Yama
- Ludra berarti peleburan; Sanghyang Rudra
- Brahma berarti pencipta; Sanghyang Brahma
- Kala berarti nilai; Sanghyang Kalantaka
- Uma berarti pemelihara/peneliti; Sanghyang Amreta
Sangawara
- Dangu artinya antara terang dan gelap, Bhuta Urung
- Jangur artinya antara jadi dan batal, Bhuta Pataha
- Gigis artinya sederhana, Bhuta Jirek
- Nohan artinya gembira, Bhuta raregek
- Ogan artinya bingung, Bhuta Jingkrak
- Erangan artinya dendam, Bhuta Jabung
- Urungan artinya batal, Bhuta Kenying
- Tulus artinya langsung, Sanghyang Saraswati
- Dadi artinya jadi, Sanghyang Dharma
Dasawara
- Pandita artinya bijaksana
- Pati artinya tegas/dinamis
- Suka artinya gembira/periang
- Duka artinya mudah tersinggung, tetapi berjiwa seni
- Sri artinya feminim, halus
- Manuh artinya menurut
- Manusa artinya mempunyai rasa sosial
- Raja artinya mempunyai jiwa kepemimpinan
- Dewa artinya mempunyai budhi luhur
- Raksasa artinya mempunyai jiwa keras dan tanpa pertimbangan
Wewaran dalam masyarakat Bali, digunakan dalam berbagai kegiatan masyarakatnya. Mulai dari bercocok tanam, bermasyarakat, upacara pernikahan ataupun ngaben, dan banyak lagi kegiatan-kegiatan masyarakat yang ditentukan oleh Wewaran. upacara keagamaan rutin yang dilakukan adalah hari terakhir dari pancawara yang disebut hari Kliwon. Dan juga pertemuan antara hari terakhir dari Pancawara dan Triwara yang disebut Kajeng Kliwon. begitupula setiap 5 minggu sekali, ada pertemuan dari hari terakhir dari pancawara dan Saptawara yang disebut Tumpek (Saniscara Kliwon).
Selain Wewaran, perhitungan statis lainya adalah Wuku. Wuku secara etimologis berarti ruas, segmen. Satu Wuku terdiri dari 7 hari sesuai dengan perhitungan saptawara, dan satu tahun Wuku terdiri dari 30 minggu.
Satu tahun Wuku, lamanya 210 hari, sistem perhitungan wuku ini masih berlaku di daerah Jawa, Bali dan Lombok. Setiap wuku diawali dengan hari Radite/Minggu dalam saptawara. penggunaanya dalam kehidupan masyarakat di Bali sebagai penentu hari baik-buruk suatu upacara keagamaan (yadnya).
Adapun nama-nama wuku tersebut antara lain:
- Sinta (Bali/Jawa) dari nama Dewi Sintakasih, Ibu raja Watugunung
- Landep (Bali/Jawa) dari nama Dewi Sanjiwartya, permaisuri raja Watugunung
- Ukir (Bali) Wukir (Jawa) dari nama Raja Giriswara
- Kulantir/Kurantil dari nama Raja Kuladewa
- Tolu dari nama Raja Talu
- Gumbreg dari nama Raja Mrebwana
- Wariga/Warigalit dari nama Raja Waksaya
- Warigadian/Warigagung dari nama Raja Wariwisaya
- Julungwangi/Mrikjulung dari nama Raja Mrikjulung
- Sungsang dari nama Raja Sungsangtaya
- Dungulan/Galungan dari nama Raja Dungulan
- Kuningan dari nama Raja Puspita
- Langkir dari nama Raja Langkir
- Mdangsya/Mandhasia dari nama Raja Mdangsu
- Pujut/Julung Pujut dari nama Raja Pujitpwa
- Pahang dari nama Raja Paha
- Krulut/Kuruwelut dari nama Raja Kruru
- Mrakih/Mrakeh dari nama Raja Mrangsinga
- Tambir dari nama Raja Tambur
- Mdangkungan dari nama Raja Mdangkusa
- Matal/Maktal dari nama Raja Matal
- Uye/Wuye dari nama Raja Uye
- Mnail/Manail dari nama Raja Ijala
- Prangbakat dari nama Raja Yuddha
- Bala dari nama Raja Baliraja
- Ugu/wugu dari nama Raja Wiugah
- Wayang dari nama Raja Ringgita
- Klawu/Kulawu dari nama Raja Kulawudra
- Dukut/Dhukut dari nama Raja Sasawi
- Watugunung dari nama Raja Watugunung sendiri.
Perhitungan Wuku, digunakan bersama dengan wewaran, dan dari pertemuan-pertemuan hari tersebut, akan menentukan hari baik atau buruk untuk melakukan suatu kegiatan dan upacara. dalam kehidupan masyarakat Bali, gabungan antara perhitungan Wewaran dan Wuku itu biasanya dirumuskan dalam tabel bergambar yang disebut dengan Tika.