Perbedaan Kalender Saka Bali, India dan Jawa


Kalender Saka adalah sebuah kalender yang berasal dari India. Kalender ini merupakan sebuah penanggalan syamsiyah qomariyah (candra surya) atau kalender lunisolar, maksudnya sistem kalender yang menggunakan periode bulan mengelilingi bumi untuk satuan bulan, namun untuk penyesuaian dengan musim dilakukan penambahan satu bulan atau beberapa hari (interkalasi), setiap beberapa tahun.  Berhubung bulan-bulan dalam kalender Saka hanya terdiri dari 30 hari, maka tahun baru harus disesuaikan setiap tahunnya untuk mengiringi daur perputaran matahari.

Penggunaan kalender Saka tidak hanya oleh masyarakat Hindu di India saja, kalender ini juga masih digunakan oleh masyarakat Hindu di Bali. Di Bali kalender Saka yang telah ditambahi dengan unsur-unsur lokal dipakai sampai sekarang, begitu pula di beberapa daerah di Jawa, seperti di Tengger yang masih banyak penganut agama Hindu. terutama untuk menentukan hari-hari besar keagamaan mereka.

Kalender Saka Di India

Eksistensi Tahun Saka di India merupakan tonggak sejarah yang menutup permusuhan antar suku bangsa di India. Sebelum lahirnya Tahun Saka, suku bangsa di India dilanda permusuhan yang berkepanjangan. Adapun suku-suku bangsa tersebut antara lain: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa dan Saka. Suku-suku bangsa tersebut silih berganti naik tahta menundukkan suku-suku yang lain. Suku bangsa Saka benar-benar bosan dengan keadaan permusuhan itu. Arah perjuangannya kemudian dialihkan, dari perjuangan politik dan militer untuk merebut kekuasaan menjadi perjuangan kebudayaan dan kesejahteraan. Karena perjuangannya itu cukup berhasil, maka suku Bangsa Saka dan kebudayaannya benar-benar memasyarakat.

Tahun 125 SM dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi memegang tampuk kekuasaan di India. Tampaknya, dinasti Kushana ini terketuk oleh perubahan arah perjuangan suku bangsa Saka yang tidak lagi haus kekuasaan itu. Kekuasaan yang dipegangnya bukan dipakai untuk menghancurkan suku bangsa lainnya, namun kekuasaan itu dipergunakan untuk merangkul semua suku-suku bangsa yang ada di India dengan mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku menjadi kebudayaan kerajaan (negara).

Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehchi mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Sejak itu pula, kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan beragama di India ditata ulang. Oleh karena itu, peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, dan hari kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional. Akibat toleransi dan persatuan itu, sistem kalender Saka semakin berkembang mengikuti penyebaran agama Hindu.

Awal setiap bulan adalah saat konjungsi, sehingga tanggal kalender Saka umumnya lebih dahulu sehari dari tanggal kalender Hijriyah yang diawali munculnya hilal. Setiap bulan dibagi menjadi dua bagian yaitu suklapaksa (paro terang, dari bulan mati sampai purnama) dan kresnapaksa (paro gelap, dari selepas purnama sampai menjelang bulan mati). Masing-masing bagian berjumlah 15 atau 14 hari (tithi). Jadi kalender Saka tidak mempunyai tanggal 16. Misalnya, tithi pancami suklapaksa adalah tanggal lima, sedangkan tithi pancami kresnapaksa adalah tanggal dua puluh.

Konsep sunya (kosong) dalam ajaran Hindu mendasari kalender Saka untuk menghitung tahun dari Nol. Tanggal 1 Caitra tahun Nol bertepatan dengan tanggal 14 Maret 78. Tahun baru 1 Caitra 1932 jatuh pada tanggal 16 Maret 2010. Di Indonesia kita mengenal tahun baru Saka sebagai Hari Raya Nyepi.

Sebuah tahun Saka dibagi menjadi dua belas bulan. Berikut nama bulan-bulan tersebut:
  1. Srawanamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Juli-Agustus atau bulan Jawa/Bali Kasa
  2. Bhadrawadamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Agustus-September atau bulan Jawa/Bali Karo
  3. Asujimasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan September-Oktober atau bulan Jawa/Bali Katiga
  4. Kartikamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Oktober-November atau bulan Jawa/Bali Kapat
  5. Margasiramasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan November-Desember atau bulan Jawa/Bali Kalima
  6. Posyamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Desember-Januari atau bulan Jawa/Bali Kanem
  7. Maghamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Januari-Februari atau bulan Jawa/Bali Kapitu
  8. Phalgunamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Februari-Maret atau bulan Jawa/Bali Kawolu
  9. Cetramasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Maret-April atau bulan Jawa/Bali Kasanga
  10. Wesakhamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan April-Mei atau bulan Jawa/Bali Kasepuluh/Kadasa
  11. Jyesthamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Mei-Juni atau bulan Jawa Dhesta atau Bali Desta
  12. Asadhamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Juni-Juli atau bulan Jawa Sadha atau Bali Desta

Dengan demikian kalender Saka mempunyai nilai sejarah yang tinggi dan bermakna dan mempunyai kedudukan penting terhadap beribadatan bagi umat Hindu di India Pada saat itu

Kalender Saka Di Jawa

Pada abad ke-4 Masehi agama Hindu telah berkembang di Indonesia Sistem penanggalan Saka pun telah berkembang pula di Indonesia. Itu dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat (India) yang mendarat di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 456 Masehi.

Awal mula perkembangan Tahun Saka di Indonesia terjadi pada zaman Majapahit, Tahun Saka benar-benar telah eksis menjadi kalender kerajaan. Di Kerajaan Majapahit pada setiap bulan Caitra (Maret), Tahun Saka diperingati dengan upacara keagamaan. Di alun-alun Majapahit, berkumpul seluruh kepala desa, prajurit, para sarjana, Pendeta Siwa, Budha dan Sri Baginda Raja. Topik yang dibahas dalam pertemuan itu adalah tentang peningkatan moral masyarakat.

Kalender Saka tetap dipakai di Jawa sampai awal abad ke-17. Kesultanan Demak, Banten, dan Mataram menggunakan kalender Saka dan kalender Hijriyah secara bersama-sama. Pada tahun 1633 Masehi (1555 Saka atau 1043 Hijriyah), Sultan Agung Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Molana Matarami (1613-1645) dari Mataram menghapuskan kalender Saka dari Pulau Jawa, lalu menciptakan Kalender Jawa yang mengikuti kalender Hijriyah. Cuma bilangan tahun 1555 tetap dilanjutkan. Jadi tanggal 1 Muharram 1043 Hijriyah adalah 1 Muharam 1555 Jawa, yang jatuh pada hari Jum`at Legi (Sweet Friday) tanggal 8 Juli 1633 Masehi. Angka tahun Jawa selalu berselisih 512 dari angka tahun Hijriyah. Keputusan Sultan Agung ini disetujui dan diikuti oleh Sultan Abul-Mafakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651) dari Banten. Dengan demikian kalender Saka tamat riwayatnya di seluruh Jawa, dan digantikan oleh kalender Jawa yang sangat bercorak Islam dan sama sekali tidak lagi berbau Hindu atau budaya India.

Nama-nama bulan disesuaikan dengan lidah Jawa: Muharam, Sapar, Rabingulawal, Rabingulakir, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Saban, Ramelan, Sawal, Dulkangidah, Dulkijah. Muharram juga disebut bulan Sura sebab mengandung Hari Asyura 10 Muharram. Rabi`ul-Awwal dijuluki bulan Mulud, yaitu bulan kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. Rabi`ul-Akhir adalah Bakdamulud atau Silihmulud, artinya “sesudah Mulud”. Sya`ban merupakan bulan Ruwah, saat mendoakan arwah keluarga yang telah wafat, dalam menyambut bulan Puasa (Ramadhan). Dzul-Qa`dah disebut Hapit atau Sela sebab terletak di antara dua hari raya. Dzul-Hijjah merupakan bulan Haji atau Besar (Rayagung), saat berlangsungnya ibadah haji dan Idul Adha. Bulan ganjil berumur 30 hari, seddangkan bulan-buulan genap berumur 29 hari, kecuali bulan ke-12 berumur 30 pada tahun panjang.

Nama-nama hari kalender Saka dalam bahasa Sansekerta (Raditya, Soma, Anggara, Budha, Brehaspati, Sukra, Sanaiscara) yang dianggap berbau penyembahan benda langit dihapuskan oleh Sultan Agung, diganti dengan nama-nama hari dalam bahasa Arab yang disesuaikan dengan lidah Jawa: Ahad, Senen, Seloso, Rebo, Kemis, Jumuwah, Saptu. Tetapi hari-hari pasaran atau pancawara (Pahing, Pon, Wage, Kaliwuan, Umanis atau Legi) tetap dilestarikan, sebab merupakan konsep asli masyarakat Jawa, bukan diambil dari kalender Saka atau budaya India.

Dari realita di atas, tidak dapat dipungkiri sistem penanggalan Saka menjadi titik awal perhitungan terhadap sistem penanggalan yang ada di Indonesia, khususnya sistem penanggalan Jawa Islam sebagaimana yang kita kenal sekarang.

Kalender Saka Di Bali

Kalender saka berkembang dan menyebar sampai ke Indonesia khususnya ke Bali, hanya saja kalender ini setelah sampai di Bali mengalami berbagai perubahan dalam sistematikanya., sehingga terjadi perbedaan. Karena perbedaan itulah maka kalender Saka yang ada di Bali lebih populer dengan nama kalender Saka Bali.

Kalau dilihat dari sejarahnya, kalender Saka Bali ini belum bisa dipastikan siapa penciptanya dan tahun berapa mulai berlakunya. Namun apabila ditinjau dari adanya penerbitan kalender Saka Bali, maka akan ditemukan peristisnya yaitu I Gusti Bagus Sugriwa dan I Ketut Bambang Gde Rawi. Kedua orang inilah yang telah menyusun dan menerbitkan kalender Saka Bali yang dapat kita warisi sampai sekarang.

Di dalam penentuan awal dan akhir tahun kalender Saka Bali berpedoman dengan kalender matahari yaitu pada saat matahari tepat berada di bawah khatulistiwa. Akhir tahunnya ada pada tilem (New Moon) kesanga pada saat bulan mati yang terjadi antara bulan Maret- April, dan merupakan tilem yang terdekat dengan tanggal 21 Maret. Pada saat itu diadakan upacara Tawur Kesanga dan besoknya dimulai tahun baru yang dirayakan umat Hindu yang terkenal dengan nama Hari Raya Nyepi (penanggalan 1 Sasih Kedasa).

Sedangkan dalam menentukan umur bulan kalender Saka Bali berpedoman pada kalender bulan (Lunar Kalender) yaitu antara tilem dengan tilem berikutnya, dimana tilem dalam kalender Hijriyah adalah ijtima’ (kongjungsi). Dalam 1 bulan candra atau sasih, disepakati ada 30 hari terdiri dari 15 hari menjelang purnama disebut penanggal atau suklapaksa, diikuti dengan 15 hari menjelang bulan baru (tilem) disebut panglong atau kresnakapsa. Penanggal ditulis dari 1 pada bulan baru, sampai 15 yaitu purnama, menggunakan warna merah pada kalender cetakan. Setelah purnama, kembali siklus diulang dari angka 1 pada sehari setelah purnama sampai 15 pada bulan mati (tilem) menggunakan warna hitam. Dalam perhitungan matematis, untuk membedakan warna, sering dipakai titi. Titi adalah angka urut dari 1 yaitu bulan baru, sampai 30 pada bulan mati. Angka 1 sampai 15 mewakili angka merah atau penanggal, 16 sampai 30 mewakili angka 1 sampai 15 angka berwarna hitam atau panglong.

Nama-nama sasih (bulan) pada kalender Saka Bali sebagai berikut:
  1. Kesanga : Tanggal 1­­­­­- Tilem = 29-30 hari
  2. Kedasa : Tanggal 1­­­­­- Tilem = 29-30 hari
  3. Jhista : Tanggal 1­­­­­- Tilem = 29-30 hari
  4. Shada : Tanggal 1­­­­­- Tilem = 29-30 hari
  5. Kasa : Tanggal 1­­­­­- Tilem = 29-30 hari
  6. Karo : Tanggal 1­­­­­- Tilem = 29-30 hari
  7. Katiga : Tanggal 1­­­­­- Tilem = 29-30 hari
  8. Kapat : Tanggal 1­­­­­- Tilem = 29-30 hari
  9. Kalima : Tanggal 1­­­­­- Tilem = 29-30 hari
  10. Kaenem : Tanggal 1­­­­­- Tilem = 29-30 hari
  11. Kepitu : Tanggal 1­­­­­- Tilem = 29-30 hari
  12. Kewolu : Tanggal 1­­­­­- Tilem = 29-30 hari

Umurnya = 354-355

Disamping berdasarkan kalender matahari dan bulan, kalender Saka Bali juga memasukkan kalender Wuku, yang merupakan kalender yang hanya ada di Indonesia, dimana umur dalam 1 tahunnya adalah 420 hari. 1 wuku sama dengan 1 minggu (7 hari), dan wuku berjumlah 30.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa kalender Saka Bali berpedoman dengan kalender matahari, kalender bulan dan tahun wuku atau bisa dikatakan kalender lunisolar ditambah kalender wuku.

Dalam sistem kalender Bali, 1 minggu yang terdiri dari 7 hari disebut Saptawara. Saptawara sering digunakan bersama dengan Triwara (mingguan dengan tiga hari) dan Pancawara (mingguan dengan lima hari). Bagi orang Bali awam sekalipun, sudah mengenal kesepuluh jenis mingguan tersebut yang dinamakan Wewaran.
Adapun jenis-jenis Wewaran tersebut adalah :


Ekawara

  • Luang (tunggal/kosong); urip:1; Dewa: Sang Hyang Ekataya; bertempat di barat daya

Dwiwara
  1. Menga (terbuka/terang); 5; Sanghyang Kalima, di timur
  2. Pepet (tertutup/gelap); 7; Sanghyang Timira, di barat

Triwara
  1. Pasah/Dora yang berarti tersisih, baik untuk Dewa Yadnya; 9; Sanghyang Cika; di selatan
  2. Beteng/Waya yang berarti makmur, baik untuk Manusa Yadnya;4. Sanghyang Wacika; di utara
  3. Kajeng/Byantara yang berarti tekanan tajam atau dimakan (Bali ‘kaajeng’), baik untuk Bhuta Yadnya; 7; Sanghyang Manacika; di barat

Caturwara
  1. Sri (kemakmuran);4;Bhagawan Bregu, utara
  2. Laba (laba/pemberian/keuntungan);5;Bhagawan Kanwa,timur
  3. Jaya (unggul);9;Bhagawan Janaka,selatan
  4. Mandala (daerah);7;Bhagawan Narada,barat

Pancawara
  1. Umanis yang berarti rasa; 5; Dewa Iswara, timur
  2. Paing yang berarti cipta; 9; Dewa Brahma, selatan
  3. Pon yang berarti idep; 7; Dewa Mahadewa, barat
  4. Wage yang berarti angan, 4; Dewa Wishnu, utara
  5. Kliwon yang berarti budhi; 8; Dewa Siwa, tengah

Sadwara
  1. Tungleh (tak kekal) ; 7; Sanghyang Indra, barat
  2. Aryang (kurus): 6; Sanghyang Bharuna, timur laut
  3. Urukung (punah); 5; Sanghyang Kwera, timur
  4. Paniron (gemuk); 8; Sanghyang Bayu, tenggara
  5. Was (kuat); 9; Sanghyang Bajra, selatan
  6. Maulu (membiak); 3; Sanghyang Airawana, barat daya

Saptawara
  1. Radite/Minggu berarti soca, menanam yang beruas; 5; Sanghyang Bhaskara (matahari), timur
  2. Soma/Senin berarti bungkah, menanam umbi-umbian; 4; Sanghyang Chandra (bulan), utara
  3. Anggara/Selasa berarti godhong, menanam sayuran daun; 3; Sanghyang Angaraka (mars), barat daya
  4. Buddha/Rabu berarti kembang, menanam semua jenis bunga; 7; Sanghyang Udaka (merkurius), barat
  5. Wraspati/Kamis berarti wija, menanam yang menghasilkan biji; 8; Bhagawan Brehaspati (jupiter), tenggara
  6. Sukra/Jum’at berarti woh, menanam buah-buahan; 6; Bhagawan Bregu/Sukra (venus), timur laut
  7. Saniscara/Sabtu berarti pager, menanam tanaman sebagai pagar; 9; Sanghyang Wasurama (saturnus), selatan

Astawara
  1. Sri berarti makmur (pengatur); Bhatari Giriputri
  2. Indra berarti indah (penggerak); Sanghyang Indra
  3. Guru berarti tuntunan (penuntun); Sanghyang Guru
  4. Yama berarti adil (keadilan); Sanghyang Yama
  5. Ludra berarti peleburan; Sanghyang Rudra
  6. Brahma berarti pencipta; Sanghyang Brahma
  7. Kala berarti nilai; Sanghyang Kalantaka
  8. Uma berarti pemelihara/peneliti; Sanghyang Amreta


Sangawara
  1. Dangu artinya antara terang dan gelap, Bhuta Urung
  2. Jangur artinya antara jadi dan batal, Bhuta Pataha
  3. Gigis artinya sederhana, Bhuta Jirek
  4. Nohan artinya gembira, Bhuta raregek
  5. Ogan artinya bingung, Bhuta Jingkrak
  6. Erangan artinya dendam, Bhuta Jabung
  7. Urungan artinya batal, Bhuta Kenying
  8. Tulus artinya langsung, Sanghyang Saraswati
  9. Dadi artinya jadi, Sanghyang Dharma

Dasawara
  1. Pandita artinya bijaksana
  2. Pati artinya tegas/dinamis
  3. Suka artinya gembira/periang
  4. Duka artinya mudah tersinggung, tetapi berjiwa seni
  5. Sri artinya feminim, halus
  6. Manuh artinya menurut
  7. Manusa artinya mempunyai rasa sosial
  8. Raja artinya mempunyai jiwa kepemimpinan
  9. Dewa artinya mempunyai budhi luhur
  10. Raksasa artinya mempunyai jiwa keras dan tanpa pertimbangan

Wewaran dalam masyarakat Bali, digunakan dalam berbagai kegiatan masyarakatnya. Mulai dari bercocok tanam, bermasyarakat, upacara pernikahan ataupun ngaben, dan banyak lagi kegiatan-kegiatan masyarakat yang ditentukan oleh Wewaran. upacara keagamaan rutin yang dilakukan adalah hari terakhir dari pancawara yang disebut hari Kliwon. Dan juga pertemuan antara hari terakhir dari Pancawara dan Triwara yang disebut Kajeng Kliwon. begitupula setiap 5 minggu sekali, ada pertemuan dari hari terakhir dari pancawara dan Saptawara yang disebut Tumpek (Saniscara Kliwon).

Selain Wewaran, perhitungan statis lainya adalah Wuku. Wuku secara etimologis berarti ruas, segmen. Satu Wuku terdiri dari 7 hari sesuai dengan perhitungan saptawara, dan satu tahun Wuku terdiri dari 30 minggu.

Satu tahun Wuku, lamanya 210 hari, sistem perhitungan wuku ini masih berlaku di daerah Jawa, Bali dan Lombok. Setiap wuku diawali dengan hari Radite/Minggu dalam saptawara. penggunaanya dalam kehidupan masyarakat di Bali sebagai penentu hari baik-buruk suatu upacara keagamaan (yadnya).


Adapun nama-nama wuku tersebut antara lain:


  1. Sinta (Bali/Jawa) dari nama Dewi Sintakasih, Ibu raja Watugunung
  2. Landep (Bali/Jawa) dari nama Dewi Sanjiwartya, permaisuri raja Watugunung
  3. Ukir (Bali) Wukir (Jawa) dari nama Raja Giriswara
  4. Kulantir/Kurantil dari nama Raja Kuladewa
  5. Tolu dari nama Raja Talu
  6. Gumbreg dari nama Raja Mrebwana
  7. Wariga/Warigalit dari nama Raja Waksaya
  8. Warigadian/Warigagung dari nama Raja Wariwisaya
  9. Julungwangi/Mrikjulung dari nama Raja Mrikjulung
  10. Sungsang dari nama Raja Sungsangtaya
  11. Dungulan/Galungan dari nama Raja Dungulan
  12. Kuningan dari nama Raja Puspita
  13. Langkir dari nama Raja Langkir
  14. Mdangsya/Mandhasia dari nama Raja Mdangsu
  15. Pujut/Julung Pujut dari nama Raja Pujitpwa
  16. Pahang dari nama Raja Paha
  17. Krulut/Kuruwelut dari nama Raja Kruru
  18. Mrakih/Mrakeh dari nama Raja Mrangsinga
  19. Tambir dari nama Raja Tambur
  20. Mdangkungan dari nama Raja Mdangkusa
  21. Matal/Maktal dari nama Raja Matal
  22. Uye/Wuye dari nama Raja Uye
  23. Mnail/Manail dari nama Raja Ijala
  24. Prangbakat dari nama Raja Yuddha
  25. Bala dari nama Raja Baliraja
  26. Ugu/wugu dari nama Raja Wiugah
  27. Wayang dari nama Raja Ringgita
  28. Klawu/Kulawu dari nama Raja Kulawudra
  29. Dukut/Dhukut dari nama Raja Sasawi
  30. Watugunung dari nama Raja Watugunung sendiri.

Perhitungan Wuku, digunakan bersama dengan wewaran, dan dari pertemuan-pertemuan hari tersebut, akan menentukan hari baik atau buruk untuk melakukan suatu kegiatan dan upacara. dalam kehidupan masyarakat Bali, gabungan antara perhitungan Wewaran dan Wuku itu biasanya dirumuskan dalam tabel bergambar yang disebut dengan Tika.


Kalender Saka Bali




Kalender Bali atau yang dikenal dengan sebutan Kalender Saka Bali merupakan kalender yang menggunakan system penanggalan yang digunakan di Bali dan Lombok.

Kalender ini memang khusus digunakan masyarakat Bali untuk penanggalan upacara dan kegiatan lainnya. 

Kalender Bali adalah sistem penanggalan yang digunakan oleh orang Hindu Bali di pulau Bali dan Lombok. Kalender Bali bisa dianggap istimewa sebab kalender Saka Bali adalah penanggalan "konvensi". Tidak mutlak astronomis seperti kalender Hijriyah, namun tidak pula seperti kalender Jawa, tetapi 'kira-kira' ada di antara keduanya.

Kalender Saka Bali tidak sama dengan Kalender Saka dari India, namun kalender Saka yang sudah dimodifikasi dan diberi tambahan elemen-elemen lokal.

Kalender Saka Bali bisa dikatakan merupakan penanggalan syamsiah-kamariah (surya-candra) atau luni-solar. Jadi penanggalan ini berdasarkan posisi matahari dan sekaligus bulan. Dikatakan konvensi atau kompromistis, karena sepanjang perjalanan tarikhnya masih dibicarakan bagaimana cara perhitungannya.

Dalam kompromi sudah disepakati bahwa: 1 hari candra = 1 hari surya. Kenyataannya 1 hari candra tidak sama dengan panjang dari 1 hari surya. Untuk itu setiap 63 hari (9 wuku) ditetapkan satu hari-surya yang nilainya sama dengan dua hari-candra. Hari ini dinamakan pangunalatri. Hal ini tidak sulit diterapkan dalam teori aritmetika. Derajat ketelitiannya cukup bagus, hanya memerlukan 1 hari kabisat dalam seratusan tahun

Perhitungan Bulan


Dalam 1 bulan candra atau sasih, disepakati ada 30 hari terdiri dari 15 hari menjelang purnama disebut penanggal atau suklapaksa, diikuti dengan 15 hari menjelang bulan baru (tilem) disebut panglong atau kresnakapsa. Penanggal ditulis dari 1 pada bulan baru, sampai 15 yaitu purnama, menggunakan warna merah pada kalender cetakan. Setelah purnama, kembali siklus diulang dari angka 1 pada sehari setelah purnama sampai 15 pada bulan mati (tilem) menggunakan warna hitam. Dalam perhitungan matematis, untuk membedakan warna, sering dipakai titi. Titi adalah angka urut dari 1 yaitu bulan baru, sampai 30 pada bulan mati. Angka 1 sampai 15 mewakili angka merah atau penanggal, 16 sampai 30 mewakili angka 1 sampai 15 angka berwarna hitam atau panglong.

Panjang bulan surya juga tidak sama dengan panjang sasih (bulan candra). Sasih panjangnya berfluktuasi tergantung kepada jarak bulan dengan bumi dalam orbit elipsnya. Sehingga kurun tahun surya kira-kira 11 hari lebih panjang dari tahun candra. Untuk menyelaraskan itu, setiap kira-kira 3 tahun candra disisipkan satu bulan candra tambahan yang merupakan bulan kabisat. Penambahan bulan ini masih agak rancu peletakannya. Inilah tantangan bagi dunia aritmetika. Idealnya awal tahun surya jatuh pada paruh-akhir sasih keenam (Kanem) atau paruh-awal sasih ketujuh (Kapitu), sehingga tahun baru Saka Bali (hari raya Nyepi) selalu jatuh di sekitar paruh-akhir bulan Maret sampai paruh-awal bulan April.

Penanggalan Matahari


NoPenanggalan JawaAwalAkhir
1Kasa23 Juni2 Agustus
2Karo3 Agustus25 Agustus
3Katiga26 Agustus18 September
4Kapat19 September13 Oktober
5Kalima14 Oktober9 November
6Kanem10 November22 Desember
7Kapitu23 Desember3 Februari
8Kawolu4 Februari1 Maret
9Kasanga2 Maret26 Maret
10Kadasa27 Maret19 April
11Desta20 April12 Mei
12Sada13 Mei22 Juni

Tahun Baru Saka Bali


Tahun baru bagi Kalender Saka Bali, diperingati sebagai hari raya Nyepi, bukan jatuh pada sasih pertama (Kasa), tetapi pada sasih kesepuluh (Kadasa). Idealnya pada penanggal 1, yaitu 1 hari setelah bulan mati (tilem). Pada tahun 1993, Hari raya Nyepi jatuh pada penanggal 2, diundur 1 hari, karena penanggal 1 bertepatan dengan pangunalatri dengan panglong 15 sasih Kasanga. Sekali lagi kompromi diperlukan dalam perhitungan ini.

Sejak hari raya Nyepi, angka tahun Saka bertambah 1 tahun. Menjadi angka tahun surya Masehi dikurangi 78. Dengan demikian sasih- sasih sebelum itu berangka tahun Masehi minus 79. Hal ini akan terasa janggal bagi pengguna penanggalan Masehi, karena angka tahun sasih Kasanga satu tahun di belakang angka tahun sasih Kedasa, dan angka tahun dari sasih terakhir, Desta (Jiyestha) sama dengan angka tahun berikutnya untuk sasih pertama (Kasa).

Tentang Bangbang Gde Rawi, Tokoh Perintis & Penyusun Kalender Bali



Bangbang Gde Rawi, Beliau lahir di Desa Celuk, Sukawati, Sabtu Pon Sinta 17 September 1910 sebagai anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Jro Mangku Wayan Bangbang Mulat dan Jro Mangku Nyoman Rasmi. Tahun 1929, setelah tamat sekolah Goebernemen Negeri di Sukawati, dalam usia 19 tahun, Ketut Bangbang Gde Rawi sudah mulai tekun mempelajari ihwal wariga, adat, dan filsafat agama Hindu. 

Proses perburuan ilmu ini dilakukan dengan cara bertandang ke griya-griya, mencari lontar, menekuni wariga dan berdiskusi dengan peranda-peranda. Di samping menekuni ilmu wariga, Rawi juga tertarik pada bidang seni tari dan seni rupa, seperti memahat dan melukis, dilakukan sepanjang tahun 1930-an. Dekade ini, Ketut Bangbang Gde Rawi yang ulet bekerja juga pernah menjadi tukang jahit, jual-beli pakaian jadi, dan perhiasan emas.

Awal 1940-an, sebelum Indonesia merdeka, beliau pernah menjadi perbekel di desa kelahirannya, Celuk. Saat itulah, Rawi yang mewarisi banyak pustaka lontar sering dimintai untuk mencari hari baik untuk pelaksanaan upacara atau kegiatan adat lainnya. Lama-kelamaan, bakat beliau di bidang menentukan hari baik untuk melakukan sesuatu (padewasaan) mulai tumbuh dan tersiar di kalangan masyarakat luas sehingga beliau didesak oleh para tokoh adat dan agama se-Kabupaten Gianyar untuk menyusun kalender. Desakan itu ditolak dengan rasa rendah hati.

Namun, dalam rapat-rapat sulinggih Bali Lombok antara tahun 1948-1949, muncullah keputusan untuk memberikan kepercayaan kepada beliau untuk membuat kalender Bali. Tampaknya keputusan ini sulit beliau tolak. Setahun kemudian, atas dorongan Ida Pedanda Made Kemenuh, Ketua Paruman Pandita Bali-Lombok, Rawi mulai menyusun kalender. Kalender hasil karya beliau yang pertama dicetak penerbit Pustaka Balimas, salah satu penerbit besar di Bali saat itu. Tahun 1954, beliau dilantik menjadi anggota DPRD Bali berkat keahliannya di bidang adat dan agama.

Banyak intelektual Bali mencoba menyusun kalender, tetapi sampai tahun 1980-an, praktis kalender Ketut Bangbang Gde Rawi yang populer dan banyak dijadikan pegangan oleh masyarakat. 

Selain karena isinya yang diyakini ketepatannya, yang khas dalam kalendernya adalah pemasangan foto diri yang mengenakan dasi dan kacamata. Mengapa bukan foto yang mengenakan destar? Tak jelas, tetapi foto berdasi itu adalah potret beliau sebagai anggota DPRD Propinsi Bali. Semula foto itu dipasang di kalender sebagai tanda pengenal semata, tetapi lama-lama menjadi merk dagang (trade mark). Kalender beliau tampil khas, pinggirannnya dihiasi dengan pepatran ukiran dedaunan, di atasnya tercetak gambar swastika simbol agama Hindu. 

Menurut Jro Mangku Nyoman Bambang Bayu Rahayu, cucu Ketut Bangbang Gde Rawi yang kini menjadi penerus penyusunan kalender, bentuk, bingkai, ilustrasi, susunan hari, potret diri dan nama penyusun kalender itu sudah dipatenkan sejak April 2002. Ini berarti model kalender beliau tidak boleh dijiplak. Meski demikian, kalender Bali lain yang muncul belakangan mau tak mau mengikuti pola kalender Ketut Bangbang Gde Rawi meski tidak persis sama.

Kecemerlangan Rawi di bidang adat, wariga, dan agama Hindu mendapat pengakuan dari Institut Hindu Dharma (IHD, kini Unhi). Buktinya, tahun 1972, beliau ditunjuk menjadi dosen untuk mata kuliah "wariga" di IHD. Tahun 1976, beliau juga mengabdikan diri di Parisadha Hindhu Dharma Pusat yang berkedudukan di Denpasar sebagai anggota komisi penelitian. Selain membuat kalender dan mengajar, Rawi juga menerbitkan beberapa buku, seperti Kunci Wariga (dua jilid, 1967) dan Buku Suci Prama Tatwa Suksma Agama Hindu Bali (1962).

Ketut Bambang Gde Rawi meninggal 18 April 1989 dengan mewariskan kecerdasan yang monumental, yakni pengetahuan tentang cara menyusun kalender Bali. Sejak kepergiannya, penyusunan kalender diteruskan oleh putranya, Made Bambang Suartha. Tugas ini dikerjakan sekitar delapan tahun, tepatnya hingga Made Bambang Suartha meninggal 10 April 1997. Warisan ilmu menyusun kalender itu kemudian menurun pada Jro Mangku Nyoman Bambang Bayu Rahayu, cucu Ketut Bangbang Gde Rawi. Sampai sekarang kalender Ketut Bangbang Gde Rawi tetap hadir di tengah-tengah masyarakat. Di bawah potret Ketut Bangbang Gde Rawi tertera tulisan "Disusun oleh Ketut Bangbang Gde Rawi (alm) dan Putra-putranya".

Bagi masyarakat Bali di Bali, dan mereka yang ada di daerah transmigran, termasuk yang menetap di luar negeri, kalender Bali sudah menjadi kebutuhan. Dengan menggantung kalender Bali di rumah, mereka dengan mudah bisa mengetahui hari khusus agama Hindu seperti purnama tilem, Galungan Kuningan, Nyepi dan sebagainya.

Belakangan sejumlah ahli penyusun kalender Bali yang lain selain "dinasti Ketut Bangbang Gde Rawi", juga bermunculan dan mereka berhasil membuat kalender yang diterima publik. Perkembangan penyusunan kalender Bali ini tentu tak bisa dipisahkan dari jasa Bambang Gde Rawi, sang perintis. Usaha Rawi dan penyusun kalender Bali lainnya besar jasanya kepada masyarakat dalam usaha menjaga kearifan lokal Bali.

Pesan Kalender Bambang Gde Rawi & Maryana 2019



Kalender Bali tidak terepas dari sehari-hari kita terutama untuk Umat Hindu di Indonesia untuk acuan menentukan hari baik dan buruk, bahkan hari-hari suci lainya mesti menggunakan kalender untuk menentukan perayaannya. terkait dengan hal ini banyak yang membutuhkan kalender Bali yang lengkap seperti yang di susun oleh : Bambang Gde Rawi, Maryana, dll, dengan dewasa-dewasa apalagi di bali tidak bisa lepas dari yang namanya kalender caka Bali.

Dari tahun ke tahun banyak kalangan perusahaan yang ada di Bali maupun luar Bali dalam mendukung usaha promosinya datangnya tahun 2018 mereka banyak yang menggunakan Kalender Dinding Bali sebagai ungkapan terimakasih mereka pada klien /konsumen dengan membagikannya secara gratis. Untuk itu kebutuhan akan cetak kalender bali 2019 telah di sediakan oleh berbagai Percetakan yang ada di Bali, seperti : Percetakan MahaMeru, Percetakanbali, dan yang lainnya.

Kini di PERCETAKAN CV. MAHAMERU BALI sudah dapat dilakukan pemesanan cetak (pre-order) mulai bulan Agustus 2017 untuk semua jenis kalender bali 2015.
Untuk perusahaan lokal khususnya yang ada di Bali seperti ; Koperasi, LPD, Bank, Perkantoran, Sekolah-sekolah, Universitas serta Lembaga Pemerintahan kalender dinding bali 2014 dapat dijadikan sebagai media promosi perusahaan serta sekaligus sebagai wujud kepedulian kepada konsumen dan masyarakat.

MahaMeru Percetakan Bali sebagai salah satu percetakan yang telah berpengalaman dalam cetak kalender dinding Bali 2018 senantiasa membantu anda guna memenuhi kebutuhan akan pengadaan cetak kalender 2018.

Untuk Kalender dinding bali tersedia dalam 1 ukuran : 50 x 32.5 cm dan tersedia berbagai pilihan penyusun /pengarang diantaranya : Bambang Gede Rawi, IBG.Budayoga, Kt. Reta, I Gede Marayana, Wayan Gina dan yang lainnya sesuai dengan budget anda.

Semua jenis kalender yang kami tawarkan sudah termasuk untuk pemberian Nama serta Logo perusahaan lengkap beserta alamat kontak. Untuk Kalender dinding bali ini, pemberian logo serta nama perusahaan akan dicetak pada tempat /kolom yang telah ditentukan, dan dapat dilakukan dengan cetak offset dan sablon 1 -3 warna ( tidak-full color).